Monday, September 5, 2011

Politics of Distraction

Semua kita –terutama penggemar sinema- masih ingat dengan sebuah film produksi Hollywood dengan judul Gladiator. Sebuah film heroik yang menggambarkan kejayaan Kekaisaran Roma sebagai penguasa Eropa, Asia Tengah dan Afrika. Dikisahkan seorang Jenderal perang Kekaisaran Roma yang dikhianati Kaisar Muda Commodus yang membunuh ayahnya Kaisar Markus. Cerita pun berlanjut di sebuah Colosseum tempat bertarungnya para musuh-musuh Kekaisaran dengan binatang dan para Gladiator.

Tulisan ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk menceritakan bagaimana Russel Crowe yang memerankan Jenderal Maximus yang menjadi Gladiator yang berhasil membunuh Kaisar Commodus secara kesatria. Bukan pula ingin menceritakan keahlian bertarung Jenderal Maximus atau perilaku aneh sang Kaisar Muda. Yang menarik dalam cerita ini adalah bagaimana Kekaisaran Roma membangun sebuah bangunan yang dikenal dengan Colosseum. Sebuah bangunan tempat bertarungnya para gladiator, binatang buas dan para musuh kekaisaran. Sebuah tempat bertarung dan meregang nyawa para kesatria-kesatria musuh atau orang-orang biasa yang dianggap membahayakan kekuasaan kaisar.

Colosseum yang dibangun oleh Kekaisaran Roma tersebut kini menjadi sebuah situs sejarah kebanggaan yang terletak di Italia, malah menjadi simbol sejarah penting peradaban dunia. Tapi sadarkah kita, pendirian dan pertarungan yang terjadi di Colosseum tersebut mengandung sarat makna politik? Bukan hanya sebagai arena hiburan nyeleneh sang Kaisar, atau pun wahana pembasmian musuh-musuh kekaisaran.

Colloseum merupakan sebuah simbol politik pengalihan (Politic of Distraction) yang sengaja diciptakan, sebagai alat propaganda penting bagi rakyat. Colloseum menjadi sebuah arena hiburan yang menyedot perhatian rakyat, sehingga lupa dengan persoalan, kelemahan, tuntutan dan ancaman-ancaman yang dianggap membahayakan kekuasaan. Hiburan sadis yang ditampilkan oleh Kaisar menjadi terbukti efektif, karena Colosseum dijadikan sebagai simbol kebesaran, kemegahan dan superioritas bangsa Roma atas bangsa-bangsa jajahannya. Rakyat diberi sebuah tontonan yang luar biasa sadis, dibumbui dengan retorika-retorika dan bukti-bukti keagungan sang Kaisar dan rendahnya posisi lawan. Siapapun yang hidup pada zaman itu, pasti akan kagum, bangga, dan histeris dengan kemampuan, kecerdasan dan keagungan Kaisar beserta Pasukan Romawi yang gagah berani. Siapapun yang menyaksikan tragedi-tragedi sadis yang ditampilkan akan terkesima, bahkan lupa dengan persoalan-persoalan bangsa yang carut-marut, tidak bermoral, rapuh diambang kehancuran akibat kemiskinan dan semakin lemahnya sistem kehidupan berbangsa.

Hal yang sama terjadi ribuan tahun setelah bangsa Roma mendirikan Colosseum. Namun kini bukan lagi dalam bentuk bangunan megah yang menampilkan kebrutalan dan kesadisan yang saat ini kita anggap tidak bermoral, tetapi dalam format yang sangat halus, sistematis, dan memanfaatkan media massa sebagai instrumen terpenting. Colloseum merupakan sebuah simbol yang menyedot perhatian dan partisipasi rakyat sehingga lupa dengan persoalan-persoalan dihadapi bangsa Romawi yang pada saat itu dalam bahaya perpecahan, kemiskinan, ketidakpercayaan dan carut-marutnya sistem sosial. Kini hal yang tak jauh berbeda terjadi. Perhatian rakyat disedot oleh peristiwa-peristiwa politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsa yang menjauhkan kita dari substansi persoalan bangsa yang kini sedang dihadapi. Pikiran dan seluruh indera kita dipaksa untuk berkomentar, marah, senang, frustasi dan khawatir dengan drama yang ditampilkan oleh penguasa melalui media-media kita. Kita lupa, beralih atau memalingkan kepala kita untuk memperhatikan sesuatu yang secara inderawi dan moralitas memancing reaksi emosi dan rasio kita. Apalagi sesuatu yang mengalihkan tersebut sangat dekat dengan aspek-aspek tertentu yang secara psikologis dan Sosiologis sangat kita butuhkan.

Secara sadar, penguasa membangun sebuah arena dimana kita akan tersedot di dalamnya, sehingga terlupa dengan urgent nya persoalan yang sedang kita hadapi. Logika kekuasaan adalah, dinamika bangsa harus menyentuh persoalan-persoalan permukaan atau polemik non substantif sehingga mendorong sebuah perubahan evolutif. Rakyat diberi ruang dan arena, bahkan didorong untuk bermain-main di lingkaran terluar dari dinamika sosial politik, karena dinamika tersebut menjadi sumber perubahan yang tak mengobrak-abrik basis berdiri dan tegaknya sebuah bangsa. Pergolakan, ataupun sentuhan se kecil apapun yang terkait dengan fundamental eksistensi bangsa adalah sesuatu yang harus dihindari, sehingga tidak meruntuhkan struktur utama negara. Penghindaran terhadap sisi utama organisme bangsa harus dijalankan, salah satunya adalah menciptakan drama-drama menarik dan menyentuh aspek terpenting kehidupan rakyat.

Lihat saja bagaimana dinamika seluruh bangsa di dunia ini, termasuk di Indonesia. Jika kita mundur ke belakang sejenak, dan menengok dinamika sejarah bangsa, kita akan tersadar, bahwasannya politik pengalihan merupakan bumbu yang selalu mewarnai dinamika politik bangsa. Coba saja analisis secara sederhana terhadap tragedi-tragedi dan drama-drama politik, sosial dan budaya yang terjadi belakangan ini. Tidak ada sebuah kasus atau peristiwa besar yang berdiri sendiri pada sebuah massa. Kita akan menemukan gandengan drama lainnya yang biasanya lebih menarik, menyedot perhatian dan yang pasti, sangat menyentuh aspek sosiopsikologis rakyat.

Cara, strategi dan skenario pengalihan tersebut terbukti sangat efektif. Berulang kali kekuasaan menggunakannya, berulang kali pula drama dan peristiwa tersebut berhasil mengalihkan pandangan kita. Layaknya ikan di kolam, kita tak bosan-bosanyna berulang kali memakan umpan pemancing, begitu pula rakyat yang tak tak jenuh-jenuh dipancing dengan isu, peristiwa dan tragedi-tragedi pengalih.

Dalam perspektif Sosiologis, Lewis Coser, seorang pakar konflik juga memiliki pandangan yang mirip dengan politik distraksi ala Colosseum Kaisar Roma. Ia memperkenalkan sebuah konsep bernama Katup Penyelamat (Safety Valve). Katup penyelamat merupakan sebuah institusi yang mengimbangi sebuah kegagalan, atau masalah yang menimpa sebuah sistem sosial. Sistem sosial dianggap sebagai sebuah kumpulan sub sistem atau komponen yang fungsional satu sama lainnya. Kegagalan fungsi pada sebuah sistem biasanya akan menimbulkan instabilitas terhadap sistem tersebut. Agar ketidakstabilan sistem tersebut tidak menimbulkan pergolakan lebih besar, maka secara sistem akan memproduksi sebuah sub sistem baru yang bisa menyelamatkan keseimbangan sistem. Sub sistem baru tersebut ibaratnya sebuah kasur empuk tempat kegagalan fungsional bisa jatuh secara lebih lunak, sehingga tidak meretakkan sistem secara keseluruhan. Sub sistem tersebut biasanya berakar dari basis sub sistem tradisional yang cenderung dianggap irrasional dalam sebuah peradaban modern. Dikarenakan bersifat irasional, sub sistem tersebut terkadang hanya bersifat temporal, hanya untuk kepentingan menyelamatkan stabilitas atau keseimbangan sistem sosial.

Secara psikologis, distraksi malah terkadang menjadi sebuah hal yang positif bagi individu. Perspektif psikologis merekomendasikan kepada seorang individu untuk membuat sebuah distraksi tatkala ingin mencapai sesuatu yang berada di luar tujuan utama. Distraksi diangap sebagai sebuah strategi positif dalam rangka mencapai sesuatu yang lain disamping tujuan awal yang menjadi fokus utama. Tentu saja perspektif mikro tersebut sangat berbau paradigma pengetahuan positivistik yang berusaha membangun keseimbangan sistem makro dan mikro sebagai alas terpenting analisis sosial.

Persoalannya tidak se sederhana di level micro psikologis. Keseimbangan sistem terkadang menjadi basis instrumen kekuasaan yang menolak perubahan struktural. Kecenderungan kekuasan yang mempertahankan order rejim memiliki logika yang tak jauh berbeda dimanapun, sehingga menggunakan distraksi sebagai upaya menjauhkan gerak perubahan dari inti persoalan struktur. Struktur sosial dan politik erat kaitannya dengan penguasaan sebuah golongan terhadap golongan masyarakat yang lemah, sehingga dinamika yang terjadi di dalamnya menjadi kondisi yang tak mungkin dihindari dalam rangka perubahan sistem yang lebih baik. Jika distraksi hanya terjadi di level individu, maka tak berakibat massif sehingga distraksi menjadi instrumen penting dalam rangka mencapai tujuan. Ketika diterapkan dalam struktur sosial yang lebih besar, maka akan tercipta sebuah stagnasi yang cenderung mengabadikan status quo yang belum tentu adil bagi golongan masyarakat lain.

Penggunaan politik distraksi atau Savety valve yang merupakan warisan kuno penguasa memang tak pernah lekang oleh waktu, malah menjadi praktik-praktik politik modern yang tumbuh subur dalam sebuah alam demokrasi. Kecenderungan kekuasaan adalah mempertahankan order system agar tetap stabil. Walau membuka peluang perubahan, namun diupayakan tak akan merubah fundamen sistem yang akan mengancam kekuasaan. Tinggal bagaimana rakyat tak terbuai untuk terus bisa fokus dengan arah perubahan yang diharapkan. Hanya satu cara untuk itu, yakni menjadi warga bangsa yang cerdas dan kritis terhadap buaian, pengalihan maupun sadar akan harapan menuju perubahan sistem yang lebih baik.


Tua Hasiholan Hutabarat

No comments:

Post a Comment